You need to enable javaScript to run this app.

Serenata Budaya di Negeri Kanguru

  • Jum'at, 20 Agustus 2021
  • admin
  • 0 komentar
Serenata Budaya di Negeri Kanguru

Oleh : Ayuningrat Larasati Amran dalam rangka mengikuti Lomba "Festival Literasi Siswa Indonesia (FELSI)"

 

Pendar surya perlahan dikikis masa, hadirkan kelir jingga yang tampak megah. Disusul pelita yang menghiasi bibir jalan raya, suasana sore hari ini begitu sejuk kecup netra. Jarum pendek pada jam dinding berkelir putih tulang itu sudah menunjukkan pukul setengah lima. Jam saat jalanan akan disesaki tuan juga puan yang baru saja selesai dengan pekerjaan kantornya.

Tentunya hal itu tak berlaku untuk Anggi, seorang dara bersurai hitam legam yang kini bekerja sambilan di sebuah kedai kopi kecil sudut Kota Melbourne, Australia. Seperti sore ini, Anggi masih sibuk meletakkan beberapa cangkir kopi di meja-meja kayu yang kini dipenuhi pengunjung.

“Nggi, nanti habis shift ini selesai, cari roti bareng yuk. Ada toko roti yang baru buka di ujung jalan, terus buy one get one gitu,” ajak Baruna, salah satu teman Anggi yang sama-sama berasal dari tanah air itu usai mereka menyelesaikan shift sore mereka.

“Aduh maaf ya, Baruna. Habis ini aku harus latihan buat tampil gamelan besok siang. Maaf banget ya?” Sembari melepas celemeknya, Anggi meminta maaf pada sahabatnya itu.

“Eh ini udah jam tujuh malem lho Nggi, kamu ngga capek apa habis kuliah, terus kerja shift gini lalu masih latihan gamelan lagi. Kapan istirahatnya, Nggi?” tanya Baruna dengan raut khawatir yang amat ketara pada puan yang kini sibuk menyampirkan tasnya ke bahu.

“Nggak capek dong, ‘kan kamu tau sendiri aku suka banget main gamelan dari SMA dan ngelakuin hal yang aku suka walaupun sampai larut ngga pernah bikin aku capek. Ngomongin istirahat ya? Bisalah itu diatur nanti-nanti habis latihan hehehe,” kekeh Anggi sembari menjawab pertanyaan pemuda yang sudah mengenalnya sejak mereka berseragan putih abu-abu itu. Sejurus dengan kekehan itu keluar, kekhawatiran Baruna juga ikut menguar.

“Ya udah, jangan lupa rehat ya Nggi.” Kalimat terakhir Baruna hanya dibalas dengan sebuah jempol juga simpul manis oleh Anggi sebelum punggungnya semakin menjauh dari pandangan Baruna.

Kampus tempat Anggi mengenyam studi itu tampak masih hidup meski gulita sudah menyelimuti angkasa dengan banyak kejora bercahaya. Buktinya Anggi masih menjumpai beberapa temannya yang melemparkan sapaan pada si gadis dengan kemeja lengan pendek berkelir biru muda dengan motif batik tersebut.

Gadis itu sampai di aula latihan yang sudah diisi oleh teman-teman karawitannya, bahkan beberapa dari mereka sudah siap di belakang perangkat gamelannya, dan beberapa sisanya masih sibuk berbincang sembari menunggu seluruh anggota datang. Tak butuh waktu lama, Anggi sudah duduk di belakang bonang barung yang bila dihitung sudah ia mainkan lebih dari sekali saban pekan. Bonang barung, salah satu perangkat penting dalam pementasan ansambel gamelan. Ia jamak dikenal bertugas memainkan alunan pembuka gending tersebut serta sebagai penentu gending atau lagu mana yang akan ditampilkan. Alat musik yang memiliki oktaf rendah hingga tinggi ini kerap dimainkan jalin-menjalin dan berkesinambungan dengan bonang penerus. Hal itulah yang membuat hadirnya harmonisasi apik dari kedua jenis bonang ini.

Latihan pada Jum’at malam itu berjalan selama satu jam setengah dengan Pak Sumarsam sebagai pelatihnya. Pria yang dapat ditaksir usianya sudah melebihi angka tujuh puluh tahun itu sudah lama mengajar karawitan di kampus itu, bahkan sebelum Anggi masuk dan menjadi mahasisiwi di sana.

Pada penghujung latihan, Pak Sumarsam mengumumkan sesuatu yang cukup membuat Anggika menarik simpulnya lebar-lebar. Bagaimana tidak, sang pelatih menyebutkan bahwa Hari Minggu besok yang mana dua hari lagi, kelompok karawitan mereka diundang untuk unjuk gigi di hadapan Pak Jokowi, presiden Indonesia pada periode ini. Menurut paparan Pak Sumarsam, sang tokoh nomer satu di tanah air itu akan datang berkunjung ke Canberra untuk menandai tujuh puluh tahun hubungan persahabatan kedua negara. Terlebih lagi dibutuhkan waktu enam jam empat puluh menit atau dapat dibilang nyaris tujuh jam jika ditempuh lewat perjalanan darat menggunakan kendaraan roda empat.

Dengan suasana hati yang begitu bahagia juga sedikit tegang sang gadis beranjak meninggalkan ruang tempat ia latihan tadi. “Mari simpan rasa senang itu dan segera pulang, Anggi,” monolognya selama di perjalanan menuju tempat tinggalnya.

Esok paginya ia dibangunkan dengan fakta yang baru saja ia ingat beberapa detik lalu. Fakta yang membuatnya pusing tujuh keliling juga dilema. Sebab besok, yakni Hari Minggu ia akan menyuguhkan ansambel gamelan kenamaannya di hadapan sang presiden, sementara ia juga harus menghadiri ujian akhir semester yang sudah menjadi agenda wajibnya pada Hari Senin. Anggi kian bingung lagi mengingat ia memiliki shift di kedai kopi pada Minggu siang. Terlebih lagi Anggi semakin termenung usai mencari informasi tentang lama perjalanan yang akan ia habiskan esok hari.

Namun terasa amat beruntung dan mengharukan rasanya bila ia dapat menyuguhkan penampilan ansambel gamelan di hadapan presiden negara asalnya di negara tetangga. Pasti akan sangat membahagiakan bila dapat membuat sang presiden dan jajaran petinggi negara bangga sebab budaya lokal dapat tetap bersinar serta tak terlupakan di negara tetangga.

Tapi ia juga tak mungkin meninggalkan ujian akhir semesternya. Bila ia meninggalkan ujian itu tentu ia juga akan kehilangan beasiswa yang sudah ia raih dengan bersusah payah sejak ia lulus SMA. Gadis itu menunduk dengan kepala yang mulai terasa sakit sebab banyak pikiran yang mulai hinggapi benak. Ia takkan bisa meninggalkan ujian akhir itu, namun ia juga tak mungkin menanggalkan kesempatan emas untuk tampil dengan gamelan kebanggaannya.

Sabtu siang, keputusan akhirnya adalah menemui sang pelatih karawitan yang tak lain adalah Pak Surasam di aula tempatnya biasa berlatih saban Rabu hingga Jum’at. Siang itu langit yang sedikit kelabu akibat hujan gerimis di pagi hari tak sedikitpun menyurutkan itikad taruni jenama Anggika Bathari untuk meminta konsultasi pada yang lebih sepuh.

“Ada apa Nduk?” tanya Pak Surasam kala mendapati eksistensi Anggi di ruangannya siang itu. Tak lupa kata ganti ‘nduk’ yang selalu ia kenakan setiap berbincang dengan gadis itu, kata ganti yang dapat bermakna ‘anak perempuan’ dalam Bahasa Jawa.

“Pak, mohon maaf sebelumnya. Kira-kira kalau saya izin untuk tidak ikut tampil di Canberra besok apa diperbolehkan?” Suara yang diiringi getar itu berhasil lolos dari mulut Anggi. Ia tak berani menatap lurus ke arah pelatihnya itu. Merasa tak tahu diri, menurutnya. Ia merasa membuat Pak Sumarsam kecewa sebab menyia-nyiakan kesempatan emas.

“Ya boleh-boleh saja, tapi kenapa toh nduk kok sampai menolak kesempatan yang amat bagus gini?” Rentet jawaban yang jelas sudah Anggi duga akan disuguhkan padanya. Rentet frasa yang semakin membuatnya merasa bingung. Mana yang harus ia relakan, jam kerja sambilannya, sedikit waktu belajar atau malah kesempatan untuk tampil di hadapan petinggi negara asalnya. Ketiga opsi tersebut kian berputar-putar di kepalanya sekarang.

“Saya rasanya tidak dapat hadir karena Hari Senin merupakan hari pertama saya ujian akhir semester dan di Hari Minggu siang ada shift di kedai kopi tempat saya bekerja sambilan,” jawab Anggi jujur pada sosok yang beberapa puluh warsa lebih tua darinya itu.

“Begini, Anggi…” Pak Surasam tarik nafas dalam-dalam sebelum kembali lanjutkan ucapannya. “Saya ngga akan maksa kamu untuk ikut hadir jika memang situasinya seperti itu. Tapi jika melihat seberapa besar rasa cintamu dengan gamelan dan tanah air, apa kamu bisa bekerja dan belajar dengan tenang tanpa digentayangi rasa ingin memainkan bonang kesayanganmu itu, Nduk?”

Kembali rasa dilema dan bingung menggurita dalam diri taruni itu. Haruskah ia menanggalkan kesempatan emasnya untuk membuat orang-orang Indonesia yang hadir esok dengan penampilan alat musik tradisional di negeri tetangga. Anggi sangat ingin mengubah pola pikir anak muda sebayanya yang semakin bertambahnya hari, semakin luntur pula rasa cinta pada budaya negerinya. Ia ingin menunjukkan kalau negeri asalnya, tanah airnya, Indonesianya dengan seluruh budayanya tetap bisa bersinar di tengah kemajuan zaman, bahkan di kancah dunia. Anggi, si puan belia dengan cita-cita begitu mulia ingin semua orang tahu kalau Indonesia miliki segudang budaya dan kekayaan yang sudah sepantasnya dibanggakan di mata dunia.

“Saya rasa saya akan tetap tampil, Pak. Saya akan mengajukan premohonan izin cuti kepada bos lalu belajar untuk ujian saya pada malam hari.” Setelah banyak benang kebingungan di benaknya, akhirnya gadis itu angkat bicara juga putuskan untuk tampil esok hari tentunya dengan tim ansambel gamelannya di Canberra. Suatu keputusan yang buat sang pelatih kulum senyum bangga.

Keesokan harinya, kalender digital di atas nakas kamar Aggi sudah menunjukkan Hari Minggu, sembilan Februari 2020. Usai bos di kedai kopi tempatnya bekerja mengiyakan pengajuan izin atas ketidak hadirannya nanti, Anggi berangkat ke aula tempat latihannya pagi-pagi untuk bersiap dengan tim karawitannya sebelum berangkat ke Canberra dengan bus kampusnya. Mereka berangkat jam delapan pagi dan akan tampil sekitar jam setengah empat sore. Sebetulnya tidak bisa disebut penyambutan juga sebab Pak Jokowi sudah hadir di sana sejak Hari Sabtu siang dan akan kembali ke Indonesia pada Hari Selasa pagi.

Perjalanan yang menyita waktu nyaris tujuh jam itu membuat Anggi dan teman-temannya cukup bosan. Hingga Innusha, salah satu anggota karawitan yang akrab dengan Anggi mengajak Anggi berbicara.

Gadis berkewarganegaraan Singapura yang mengambil kajian Bahasa Indonesia sebagai jurusan studinya di University of Melbourne itu berkata, “Dulu, saya ingat kamu suka sekali dengan fashion kekinian seperti artis hollywood, dan saya tidak menyangka kamu sagat cinta dengan gamelan. Sangat tidak menyangka. Saya kira kamu hanya menyukai trend-trend Hollywood saja, tapi kamu masih sangat mencintai budayamu seperti pakaian batik yang selalu kamu pakai dan gamelan.”

Penuturan Innusha dengan pelafalan Bahasa Indonesia yang cukup lancar tersebut buat Anggika tarik simpul manisnya. Innusha adalah kawan yang bermain karawitan dengannya sejak tahun lalu, jelas ia sudah mengenal Anggi cukup lama.

Masa merambat dengan cepat hingga tiba-tiba Anggi dan tim karawitannya sudah sampai di gedung parlemen Australia di Canberra. Mereka sudah siap di belakangan perangkat gamelannya masing-masing yang ternyata sudah jauh-jauh hari disiapkan oleh petinggi negri kanguru itu. Alunan musik gamelan itu meliuk-liuk di hadapan tokoh-tokoh penting kedua negara dengan gemilai jinga yang singgah di mayapada Australia sebagai latar yang menambah kesan ayu pada sore itu. Pukul setengah empat sore waktu setempat, alunan serenata gamelan berhasil pikat semua orang yang hadir di sana.

Pada penghujung sore, usai penampilan spektakuler ansambel tradisional yang sukses kantongi atensi, kegiatan pada Hari Minggu iyu ditutup dengan pidato serta ucapan terima kasih Pak Jokowi atas penampilan gamelan Anggi dan teman-temannya. Beliau amat mengapresiasi penampilan luar biasa tersebut, beliau juga menyampaikan rasa bangganya pada Anggi dan Pak Sumarsam yang sudah mengenalkan budaya asli Indonesia di negri tetangga dengan begitu apik. Selain itu, beliau juga menyampaikan pada akhir pidatonya bahwa sudah saatnya budaya serta kekayaan tanah air diekspos dan dipamerkan di mata dunia. Karena memang, negeri dengan ribuan pulau ini begitu keren dan berpeluang untuk rajut banyak prestasi dengan kekayaannya tanpa perlu menyontek ataupun meniru budaya lain.

“Indonesia, negeri kaya raya. Indonesia, simpan maneka budaya. Indonesia, tanah air kita siap bertumbuh dan pukau dunia dengan segala hal yang dimilikinya. Seperti Nak Anggi, satu-satunya orang Indonesia yang menjadi bukti nyata bahwa kita tak boleh lupa dengan budaya kita. Budaya kita bisa berprestasi, dimanapun dan kapanpun. Itu semua tergantung kita, rakyatnya. Kita, sang pelestari bangsa.” Cuplikan pidato yang mengudara lepas sebagai penutup hari oleh Pak Jokowi. Cuplikan pidato yang diharapkan dapat senantiasa singgah di dada jua termarkah di kepala. Indonesia, negeri elok yang siap cetak banyak prestasi dengan mandiri.

Bagikan artikel ini:

Beri Komentar

Dra. Fety Susilawatie, M.Pd.

- Kepala Sekolah -

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh Alhamdulillahi robbil alamin kami panjatkan kehadirat Allah, bahwasannya dengan rahmat dan karunia-Nya lah akhirnya Website sekolah ini…

Berlangganan
Banner